Nopember tahun ini, curah hujan sudah sedemikian deras. Langit mendung pekat, pertanda hujan akan turun deras. Semarang pagi itu, sudah di kepung mendung. Perkiraan tengah hari hujan akan mengguyur Kota Semarang. Bila curah hujan bener-bener gede dan lama, Semarang, pasti akan tergenang. Hampir sebagian besar penjuru kota akan kebanjiran. Simpang Lima sebagai jantung kota pun akan tergenang cukup dalam. Dan pemandangan mobil atau kendaraan roda dua mogok di sekitar Simpang Lima adalah sebuah kelaziman ketika musim banjir tiba.
Semarang kali banjir, itu dulu. Sekarang, Semarang kotanya banjir. hehee... jadi kalinya sudah meluap, tidak mampu menampung limpahan air hujan. Atau, mungkin ada yang salah dengan tata kelola sistem pengairan /drainase Kota Semarang.
Era jaman kolonial, Pemerintah Hindia Belanda sudah memahami topografi kota warisan Kanjeng Sunan Pandanaran, sebagai kota bawah memiliki potensi sebagai daerah banjir. Maka, dibuatlah kanal-kanal sehingga aliran air dari Semarang atas akan mudah mengalir keseluruh penjuru Kota yang semuanya bermuara ke Laut Jawa. Sub-sub drainase di tengah kota juga sedemikian rapi, sehingga kota diusahakan tidak tergenang alias kebanjiran.
Drainase - drainase peninggalan masa lalu itu, seperti sengaja dikubur sehingga keberadaannya seperti tidak ada dan tak pernah ada. Akibatnya, drainase sebagai urat nadi jalannya air menuju ke muara sungai menjadi tersendat. Drainase itu sudah penuh lumpur yang tidak pernah dikeruk atau sudah ditimbun dan diganti dengan drainase baru yang lebih sempit dan dangkal. Praktis, ketika tidak dapat menampung debit air, maka air itu akan meluap ke jalan-jalan atau kampung-kampung yang lebih rendah.
Program Drainase Bersih
Era Walikota Sumarmo, drainase-drainase yang lama tertutup dan penuh lumpur mulai dikeduk dinormalkan kembali. Upaya ini adalah awal sebuah perbaikan sistem drainase kota. Sayang, ketika program ini bersentuhan dengan daerah atau pusat perekonomian, pemkot terkesan agak mengalah dengan para pelaku ekonomi di daerah itu. Saat ini, mestinya demi kepentingan publik dan kenyamanan semua masyarakat, justru mereka yang diminta untuk mengerti. Bahkan bila perlu mereka diminta untuk berpartisipasi aktif dengan mengeruk lumpur yang ada di depan usaha mereka.
Kali Banjir Kanal Barat, sentuhan utama, dengan membangun kembali sungai terbesar di Semarang ini, memang sangat mengesankan. Selain terlihat lebih luas, sungai ini ke depan akan dijadikan sebagai tempat wisata. Namun yang terlebih utama adalah Banjir Kanal dapat mengurangi banjir di Semarang.
Program kali bersih, merupakan upaya lainnya untuk mengatasi banjir. Sungai-sungai kecil yang ada di Semarang jumlahnya cukuplah banyak, bila masyarakat tidak turut aktif membantu atau menyukseskan kali bersih, rasanya sulit, Semarang bebas dari banjir.
Pesan pada Pemkot, pokoknya jangan bosan melakukan pengerukan sungai-sungai dan drainase-drainase di semua penjuru kota. karena sungai-sungai yang ada rawan terjadinya pendangkalan akibat kiriman lumpur dari daerah atas dan itu adalah alamiah. Maka janganlah bosan mengeruk lumpur di sungai-sungai.
Pasar Johar Rob dan Banjir
Pasar Johar, sebagai sentral perekonomian masyarakat Semarang, keberadaannya mulai kritis. Ini karena rob dan banjir sudah merambah di tengah-tengah pasar. Sistem drainase pasar Johar sudah sangat buruk. Maka, selayaknya Pemkot dan pedagang Pasar Johar bekerja sama mengatasi masalah ini. Bila tidak, maka tahun-tahun mendatang, sangat mungkin pasar induk ini akan ditinggalkan oleh konsumennya. Karena sudah tidak memberi kenyamanan pedagang dan konsumennya.
Betapa tidak nyamannya, ketika air rob sudah di atas mata kaki orang dewasa. Ketika banjir, air keruh dan bau keluar dari drainase-drainase yang lama tak terurus. Kondisi seperti ini, sangat tidak mungkin konsumen bersedia untuk sekedar berjalan-jalan ke Pasar Johar apalagi berbelanja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar