Batan Timur IV/ Minggu, 15 Mei 2011
Pasar tradisional, ya seperti itulah. Kumuh, becek dan bau. Siapa yang mau belanja, kalo tempatnya menjijikkan seperti itu. Banyak yang meramal, pasar tradisional bakal kolap, kalah bersaing dengan super market, hipermarket atau mall dan swalayan.
Kalo melihat tampilan fisiknya, hipermarket dan sejenisnya, memang sih, kayak memberi kenyaman yang mau belanja. Semua serba tersedia. Tinggal ambil dan tak perlu tawar menawar. Pembeli dan penjual tidak perlu melakukan komunikasi sekedar tawar menawar. Pokoknya, di market-market modern, ambil yang dibutuhkan dan bayar, selesai!
Tapi apa benar, pasar modern memberi rasa nyaman? Pernah terjebak antrean panjang untuk membayar barang belanjaan? Kalo sudah kejebak, wao..., mau nyampek ke kasir saja butuh waktu setengah jam. Apa ga' capek berdiri sampai setengah jam. Tentu, kondisi seperti ini sudah membuat tidak nyaman.
Pasar tradisional, kayaknya tidak bakal ditinggalkan pembelinya. Meski, tidak semua barang tersedia di pasar tradisional, pembeli tetap setia berkunjung. Belum ada pasar tradisional kolap. Malah, kalo pasar modern, hipermarket, super market, swalayan atau mall bangkrut alias kolap sudah berulang terjadi.
Pasar Johar adalah gambaran nyata, bagaimana pasar terbesar di Semarang ini tetap berjaya. Padahal kalo dilihat dari segi fisiknya, rasa tidak nyaman sudah mencuat sejak di depan pasar. Suasana berjubel, becek, bau bahkan semrawut merupakan kondisi sehari-harinya pasar ini. Toh, nyatanya, pasar ini masih menjalankan aktifitasnya tetap dikunjungi pedagang dan pembeli dari berbagai penjuru di Jawa Tengah.
Sementara, Super Market Matahari, yang berdiri tepat di depan Pasar Johar ternyata tidak sehebat namanya. Super Market ini ditinggalkan para pedagangnya, praktis pembelinya pun sudah tidak ada. Raksasa itu mati.
Nah, hiper market-hiper market lainnya, sepertinya juga mau nyusul seperti nasibnya Matahari. Raksasa itu tidak mampu bertahan. Jauh berbeda dengan pasar tradisional, di dalamnya adalah pedagang-pedagang kecil, mereka lentur, mampu menyesuaikan kondisi perekonomian yang sedang terjadi. Karena para pedagang kecil itu, tidak terlilit sistem pasar. Mereka tidak memiliki beban utang yang sedemikian besar.
Yang paling utama, pasar tradisional, antara pedagang dan pembeli menjalin komunikasi tidak sebatas basa-basi. Komunikasi yang mereka bangun adalah komunikasi yang memiliki nilai kemanusiaan. Pedagang sangat hafal dengan karakter pelanggannya. Pelanggan puas dengan pedagang yang memberi pelayanan yang manusiawi. Tawar menawar adalah proses interaksi non formal tetapi memiliki persepsi nilai=nilai kemanusiaan sekaligus ekonomi.
Budaya tawar menawar inilah yang menguatkan pasar tradisional tetap lestari. Mana ada budaya tawar menawar di pasar modern? Semua berjalan seperti mesin. baku, kaku dan tak ada komunikasi. Pasar seperti ini, bagi aku, sangat jauh dari nyaman!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar